When The Snow Are Falling
Author: NendenNurpujiHasanah @Nenden_Hasanah
Main
Cast : EXO-K Kai, Thiya
Other
cast : EXO member, find in
Genre : Romantic
Rating
: 15+
Anneyoong... Author geje ini kembali bersuar dengan FF baru..! Yeii.. Maaf kalau FF baru ini geje-super-tingkat-dewa dan kesannya sinetron banget tapi ini dibuat dengan segala kejujuran dan ketulusan dari hati haha... masih banyak typo.. tapi author harap readers menikmatinyaa :D okee Happy Reading.. :D
Cerita ini jujur dan asli original punya author dan cast-nya juga punya author hahaha *plakk*
Thiya
POV
Tik.. tik... tik..
Hai, aku Thiya, maaf membuka dengan
cara membosankan seperti ini. Menurut kalian, cukup membosankankah keadaanku
sekarang? Duduk diam di kursi ini mendengarkan detik jam tanganku bergerak.
Kalian tahu? Kalau kali ini aku merasa seperti sudah gila, mungkin aku benar,
dan kalian boleh membenarkan itu. Huh, aku pun tak tahu mengapa. Hampir
setengah bulan ini aku merasa seperti sudah gila. Oke, aku datang ke negara ini
untuk berlibur, ya BERLIBUR. Tapi hampir sebagian besar waktu liburanku aku
habiskan dengan mendatangi taman yang menurutku tidak ada menariknya ini. Dan
dengan parahnya aku rela melawan dinginnya salju di musim dingin kali ini. Dan
bodohnya aku tak tahu mengapa. Oke, tambahan, selain gila, mungkin aku merasa
aku sangat bodoh. Mana mungkin aku mengikuti arah kakiku kemana tanpa tahu
alasan kenapa aku ke tempat ini. HAH, bagaimana kalian sendiri mengartikan hal
ini?
Semua kegilaan ini bermula pada hari
minggu siang itu.
>>>>
“Anneyong KOREAAAA...!!! Huwaaa aku
bahagia sekali.. akhirnya liburan kali ini aku bisa ke tempat ini..!!! Yaaaiiii..!!”
Kau teriak kegirangan ketika sampai di kamar hotelku. Ibuku yang sedang
membereskan barang-barangnya otomatis berteriak memarahiku karena aku, ya,
berisik. Haha..
Tak mau berlama-lama aku langsung
pergi keluar, dengan memakai mantel super tebal tentunya, awal musim dingin di
Korea,, huaahh!!
Ini pertama kalinya aku datang ke
Korea, dan keinginanku untuk berlibur kesini dikabulkan ibuku setelah
perjanjian sengit kami mengenai nilai-nilai sekolahku. Dan, aku pemenangnya
haha. Tapi, rasanya aneh. Kubilang ini kali pertamaku, tapi rasanya aku sudah
akrab dengan tempat ini. Ah, sudahlah, toh aku senang..
Langkah kakiku membawaku ke sebuah
taman kecil yang rindang oleh pepohonan yang sebagian banyak daunnya sudah
berguguran, aku duduk di kursi kecil di tepi dekat pohon. Aku mengencangkan
jaketku, memasukan tanganku ke kantung jaket untuk menghangatkannya. Awal musim
dingin di Korea, aku merasa akan ada hal menarik yang akan menantiku di depan.
“Kyaaaa kau ini tampaann
sekalii...!!” teriakan centil beberapa orang gadis yang kurasa seumuran
denganku menarik perhatianku. Aku menemukan sekelompok gadis yang sedang
mengerubungi seorang lelaki.
“Cowok populer?” pikirku. Aku tidak
begitu memperhatikan si cowok populer itu.
“Cih, mengapa dia terlihat sok ganteng!” aku bergumam sendiri.
“Cih, mengapa dia terlihat sok ganteng!” aku bergumam sendiri.
Aku mengalihkan pandanganku dari
mereka, aku kembali menggeluti pikiranku sendiri. Ketika aku menoleh ke arah
dimana mereka tdi berada, aku melihat si ‘cowok populer’ itu sedang melihat
lekat kearahku. Padahal jarak kami sangat jauh, tapi kenapa aku merasa kami
begitu dekat. Dan kenapa juga orang itu memandangku seperti itu? Tatapan
matanya yang tajam membuatku takut, tapi juga membuatku tak bisa mengalihkan
mataku darinya. Aku merasa mata itu membekukanku. Tunggu, kenapa dia melihatku?
Apa ada yang salah denganku? Dia melangkah menuju kearahku, perasaanku mulai
tak karuan, tatapannya tetap tidak berubah. Beruntung sekali gadis yag sedari
tadi mengerubunginya memanggilnya sehingga ia tidak jadi ke tempatku, aku lega.
Lelaki itu membuatku penasaran, makin
dipikirkan, aku makin ingin mengetahui alasan kenapa ia melihatku dengan
tatapan seperti itu. Matanya tajam, tatapan yang tajam.
<<<<<<<<<<<
Dan itulah mengapa aku datang ke
tempat ini hampir setiap hari di tempat yang sama seperti ketika orang itu
mulai mengganggu pikiranku. Ini aneh. Mungkin saja dia hanya meliat biasa,
kenapa aku menjadi penasaran seperti ini. Dan tak bisa dipungkiri kalau aku
ingin bertemu dengannya..
Sering pula aku melihatnya, tapi dia
tak menghiraukan, tidak seperti awal dia menatapku tajam. Tapi tetap, aku tak
bisa mengabaikannya. Benar, kan? Aku sudah gila..
Kai
POV
Aku tak percaya bisa melihatnya
lagi. Meskipun awalnya aku tak yakin kalau itu Dia, tapi, aku merasa kalau itu
benar-benar dia, iya.. Dia yang selalu ku tunggu. Kalian tahu siapa dia? Aku
masih ingat, selalu ingat, namanya Thiya. 15 tahun yang lalu...
>>>>
“Kai oppa...Kai Oppa ~~~” Suara imut
itu memanggilku yang baru saja tiba dirumah setelah pulang dari sekolah.
“Ada apa?” Aku menjawab seadanya,
aku merasa sangat lelah sekarang.
“Kai Oppa... ayo kita maiin “
ajaknya sambil menarik-narik lengan bajuku.
“Thiya, nanti saja ya, aku baru saja
pulang dan aku sangat lelah.” Jawabku.
Thiya adalah putri sahabat appa dari
Indonesia. Mereka sedang berlibur dan mengunjungi rumah kami. Thiya seumuran
denganku. Aku pun merasa senang karena aku memiliki seorang teman.
“Iya” Dia tersenyum padaku. Senyuman
yang manis dan lucu itu membuatku nyaman.
Aku menyukai Thiya, dia sangat lucu
dan manis, periang dan yang paling penting dia membuatku nyaman berada di
dekatnya.
“Kai Oppa..” katanya di suatu sore
yang tenang di taman belakang rumah. Suasana sore ini dingin sekali.
“Ya, ada apa?” Aku mengalihkan
perhatian dari earphoneku.
“Apa kau mempunyai impian?” tanyanya.
“Tentu saja..” jawabku.
“Apa impianmu??”
“Aku? Tentu saja aku ingin menjadi
dancer hebat dan terkenal di seluruh dunia!” kataku sambil mempraktekan sedikit
hobiku ini.
“Oppa hebat.. aku akan mendoakan
supaya kau bisa mencapai impianmu” katanya sambil tersenyum, matanya
menunjukkan ketulusan.
“Kau sendiri? Apa impianmu?” tanyaku
setelah kembali duduk disebelahnya.
Dia diam, menunduk. Kulihat dia
memainkan jari-jari tangannya yang mungil.
“Thiya?”
“Aku.. mmmh aku.. aku ingn selalu
bersama Kai Oppa” katanya sambil tersenyum lebar. Pipi merahnya menandakan dia
malu menucapkan itu, yah, dia itu sangat lucu.
Aku menyentuh rambutnya dan
mengusapnya. Aku merasa sangat menyayanginya.
Salju mulai turun, aku melihatnya
dari balik jendela kamarku. Thiya sangat menantikan salju turun. Dia terlihat
senang bermain-main ditengah salju. Aku pun senang bermain salju selama musim
dingin ini. Meskipun kami sering kali dimarahi Umma karena pulang dalam keadaan
bersin-bersim dan kedinginan, tapi kami takkan pernah melewatkan waktu bermain
bersama di salju.
“Ibu, aku tidak mau pulaaaanggg..”
Aku mendengar rengekan Thiya malam ini, besok keluarga Thiya akan kembali
pulang ke Indonesia. Ya, aku sedih, begitu pula dengan Thiya. Padahal aku masih
ingin bermain di salju dengan Thiya, musim dingin masih belum berakhir.
Aku tak mau keluar kamar pagi ini.
Terdengar suara memanggil-manggil aku menyuruh aku bangun dan keluar. Aku sudah
bangun. Tapi aku tak mau keluar. Aku tak mau nanti aku jadi cengeng dan
menangis.
“Kai Oppa.. Kai Oppa....” Thiya
memanggilku, maaf Thiya, aku bukannya tak mau bertemu denganmu, tapi aku tidak
mau kau melihat tampang jelek menangis ku.
“Kai, sayang ayo bangun, Thiya akan
segera berangkat ke bandara.. kau tak ingin mengantarnya?” Umma memanggilku,
maaf Umma, aku tak mau keluar.
“Ayo, nanti terlambat, ayah sudah
memesan taksi..” terdengar suara ayah Thiya. Aku makin memasukan diri di
bantalku.
“Kai Oppaaa....” Thiya merengek
lagi.
“Ayo sayang, nanti kita
terlambat...”
Aku mendengar suara mereka semakin
menjauh. Aku tahu aku tak akan bertemu Thiya lagi.
<<<<<<<<
Sekarang aku yakin kalau gadis itu
benar-benar Thiya yang kukenal. Tapi, mengapa tadi dia diam saja, apa dia tidak
mengenaliku? Ah masa sih... Atau mungkin.. aku makin tampan sehingga dia lupa
padaku *gubrak*
Sudah hampir sebulan ini, aku
melihatnya hanya terduduk di kursi di ujung taman dekat pohon besar. Aku tak
tahu apa yang sedang dia lakukan. Tapi sepertinya dia selalu ada dalam tatapan
kosong, menunggu sesuatu yang tak pasti. Aku tak punya keberanian untuk
mendekatinya tak tahu kenapa. Aku hanya senang melihatnya dari jauh seperti
ini. Selama ini kami hanya saling membisu tanpa tahu kemana arah pikiran kami.
Hari sabtu sore, aku kembali
menelusuri jalanku ke taman biasa. Tapi hari ini aku tak melihat Thiya duduk
disana. Tumben sekali. Aku pun hanya duduk di tempatku yang biasa. Berharap
beberapa menit lagi seseorang yang ingin kulihat datang. Tapi, belum lama aku
duduk disini, aku dikagetkan oleh teriakan seorang ahjumma dari jauh, aku
langsung beranjak menuju arah suara itu. Kudapati kerumunan orang-orang. Aku
mencoba menerobosnya dan kudapati seorang gadis tengah tergeletak tak berdaya
di trotoar jalan. Aku kaget melihatnya, Thiya!
Aku langsung menggendongnya dan membawanya
ke rumah sakit terdekat sambil ditemani ahjumma tadi. Aku pun duduk
disampingnya dan menggenggam tangannya. Apa yang terjadi denganmu, Thiya..
Tak berapa lama ada seorang ahjumma
lagi yang datang, aku tahu dia, Ibu Thiya..
“Loh.. Kai?” Dia masih mengenaliku.
Aku mengangguk, ibu Thiya langsung memeluk anaknya. Dan menyalamiku. Syukurlah
dia masih mengingatku.
“Umma, ada apa dengan Thiya?” Aku
langsung menanyaan pertanyaan yang sedari tadi ingin kutanyakan.
Kulihat ibu Thiya menghela nafas
panjang. Aku merapat ke ranjang tidur Thiya sambil masih menggengga tangannya.
“Sebenarnya, sudah 15 tahun ini
Thiya kehilangan ingatannya.” Penjelasan ini membuatku kaget bukan main.
“A, apa? Kenapa!?” Aku tak bisa
mengontrol emosiku.
“Sabar, nak Kai...”
“Ini semua berawal dari kejadian 15
tahun lalu. Ketika kami sekeluarga pulang dari Korea, ketika pesawat yang kami
tumpangi mengalami kecelakaan ketika mendarat di Bandara. Ketika itu pesawat
hancur, aku masih menyadari kalau aku masih hidup, dan mendapati Thiya yang ada
dipelukanku dengan kepala bersimbah darah. Aku langsung memeluknya dan
membawanya ke tempat yang jauh dari posisi pesawat, tapi aku tak bisa menemukan
ayahnya. Aku panik dan cemas, aku tak tahu harus bagaimana ketika itu, Aku
langsung menyerahkan Thiya ke petugas kesehatan yang menolong kami, lalu aku
pergi lagi untuk mencari suamiku, aku tidak peduli dengan lukaku sendiri. Aku
tak kuasa menahan tangis ketika mengetahui kalau suamiku termasuk ke korban
tewas. Aku lemas dan langsung tak sadarkan diri” Ibu Thiya menghentikan
penjelasannya, kulihat dia menyeka air matanya yang sedikit menyembul dari
ujung matanya.
“Jadi.. Ayah Thiya sudah...” aku tak
bisa melanjutkan kalimatku. Aku langsung teringat kejadian itu dimana aku tak
mau keluar kamar saat mereka akan pulang. Aku tak menyangka ternyata akan
seperti ini kejadiannya.
“Dan ketika itu, dokter bilang kalau
Thiya hilang ingatan karena trauma berat, dan memintaku untuk tidak membahas
soal ayahnya, dan korea. Karena itu bisa membuat trauma yang lebih berat
baginya. Dan dokter menyarankan untuk tidak memaksakan ingatannya, biarkan
ingatannya kembali sedikit demi sedikit. Itulah alasan kenapa aku tak pernah
kembali lagi kesini dan memutus semua kontak dengan sahabat-sahabat di Korea,
maafkan aku, Kai.” Ibu Thiya mengakhiri ceritanya.
Aku hanya mengangguk dan tak kuasa
menahan kesedihan lagi. Aku memandang wajah Thiya yang pucat, aku masih
menggenggam tangannya.
“Lalu, Umma, kenapa sekarang Thiya
tak juga sadarkan diri?” tanyaku.
“Thiya selalu pingsan seperti ini
jika ada ingatan lama yang mungkin baru diingatnya. Tapi aku juga cemas, karena
ini pingsan yang paling lama.. Aku sangat cemas sekarang” Raut kecemasan
tertera di wajahnya.
“A.. apa?” aku semakin cemas dan
mengeratkan genggamanku.
“Ya Tuhan.. semoga Thiya baik-baik
saja..” gumamku.
Tiba-tiba tangan Thiya bergerak, aku
langsung melepaskan genggamanku, Thiya membuka matanya, aku sangat senang
sekali, senyuman pun merekah di wajah ibunya dan langsung memeluk putri
sematawayangnya itu. Thiya pun tersenyum. Aku menyaksikannya saja. Dan Thiya
melihat kearahku. Dia diam, seperti bertemu orang baru, wajar, karena mungkin
dia tidak mengingatku.
“Eh, dia ini anak yang membawamu
kesini ketika kau pingsan di depan taman, nak..” jelas ibunya, benar, ingatannya
tidak bisa dipaksa sehingga aku tahu alasan ibunya tak menyebutkan namaku pada
Thiya.
“Wah? Benarkah” Thiya terlihat
terkejut.
“Iya, nak, ibu sangat berterimakasih
padanya. Kalau tak ada dia, ibu tak tahu bagaimana jadinya kamu di tengah salju
tadi..” jelas ibunya.
“Apa? Turun salju?” Thiya melihat ke
arah jendela, benar juga, salju sudah turun. Dan bodoh sekali sedari tadi aku
tidak menyadarinya sama sekali.
Tiba-tiba Thiya memegang kepalanya,
terlihat sangat kesakitan.
“Nak? Ada apa?! Ada apa denganmu?
Jangan dipaksakan nak, biarkan ingatanmu datang dengan sendirinya..” Ibunya
mencoba menenangkan. Thiya pun kembali tenang dan tersenyum.
“Aku tak apa-apa, Ibu..” katanya. Tuhan, rasanya ingin sekali aku memeluknya saat ini. Aku sangat merindukannya.
“Aku tak apa-apa, Ibu..” katanya. Tuhan, rasanya ingin sekali aku memeluknya saat ini. Aku sangat merindukannya.
“Syukurlah, Ibu khawatir sekali,
nak... Oh iya, kau juga harus berterimakasih padanya.. Dia yang
menyelamatkanmu”
Thiya menyalami tanganku,
mengucapkan terimakasih dan tersenyum. Senyuman tulusnya tak berubah sejak 15
tahun lalu aku melihatnya. Thiya, biarpun saat ini kau tak mengingatku, aku
berhahap kenangan itu tetap tersimpan dihatimu meski kau tak mengingatnya.
Aku pun berpamitan pada Thiya dan
ibunya. Aku segera keluar ruangan itu dan segera pergi keluar rumah sakit ini.
Aku merasa senang sekaligus sedih. Aku berjalan mengikuti arah kemana kakiku
ingin. Tuhan, terimakasih telah mempertemukan kembali aku dengannya. Meskipun
dalam keadaan seperti ini, aku bersyukur bisa melihat senyumnya lagi. Tuhan,
semoga ingatannya cepat pulih kembali. Aku berlari menembus salju. Salju
kesukaan Thiya. Salju yang sangat disenangi Thiya.
Thiya
POV
Aku membuka mataku, aku sadar aku
berada di ruangan serba putih, ah.. aku pingsan lagi? Ibu langsung memelukku,
aku tahu dia sangat khawatir. Maafkan aku, ibu. Di sebelah kiriku ada seorang
lelaki, menurut ibu dialah yang menolongku ketika aku pingsan tadi, apa? Dia
ini kan.. lelaki populer yang kulihat di taman. Dia memandangku dengan tatapan
yang sama seperti tempo hari. Tapi, kenapa aku bisa merasakan kesedihan di
matanya? Tidak, bukan, itu bukan kesedihan.. Aku tak bisa mengartikan tatapan
matanya ini.
Aku melihat ke jendela, dan ada
salju.. Salju! Salju sudah turun. Tiba-tiba sebuah bayangan yang tak kukenal
berkeliaran di kepalaku, aku bisa melihat sosok anak laki-laki dengan asiknya
bermain salju dan memanggil-manggil namaku. Aku tak tahu itu siapa, tiba-tiba
kepalaku sakit, bukan main sakitnya. Aku berusaha mengingat siapa anak
laki-laki itu, tapi aku tidak mampu. Lama-lama rasa sakitnya membaik dan
menghilang, aku mulai kembali tersadar.
Aku bersalaman denga lelaki itu,
tunggu, sentuhan tangan ini rasanya familiar bagiku. Tuhan, siapa sebenarnya
namja ini? Apakah aku pernah mengenalnya di masa lalu? Dia berpamitan dan
pergi. Aku masih belum bisa melepaskan pandanganku dari sosoknya, hingga ia
menghilang dibalik pintu. Rasanya tak ingin ditinggalkan olehnya. Sialan.. Aku
ingin segera mengingat semuanya! Aku ingin mengingat kembali kehidupanku
sebelumnya yang hilang!!
***
Kai
POV
Aku terduduk disini, di bangku yang
biasa ia duduki. Tuhan, aku merasa sangat bahagia, tapi aku masih sedih dengan
kenyataanya.Yah, aku bersyukur masih bisa melihat senyumnya kembali.
“Kai, sedang apa kau?” seseorang
menyapaku. Rupanya Kris Hyung.
“Udaranya tidak baik buat kesehatan.
Hari ini sangat dingin. Mana pakaianmu tipis..” ucapnya setelah mengambil
tempat duduk disebelahku.
“Kau sendiri? Sedang apa disini?”
Tanyaku balik. Kulihat Kris Hyung masih sibuk menepuk-nepuk bahunya untuk
membersihkan salju yang menempel disana.
“Oh, aku? Aku sedang menunggu Sha Na,
hari ini dia pulang.” Jelasnya. Sha Na adalah kekasihnya, sudah 2 tahun ini
mereka menjalin hubungan, dan tahun lalu Sha Na melanjutkan kuliah di luar
negeri. Aku kagum pada Kris Hyung yang setia. Aku tahu akupun setia, aku yakin.
“Wah.. Sha Na? Syukurlah dia
pulang.. Kau tidak akan uring-uringan sendiri kalau sedang galau, hyung..”
Kataku sedikit meledeknya.
“Haha, kau ada-ada saja. Ada apa
denganmu ini? Kenapa kau duduk sendirian disini? Tidakkah kau merasa dingin?”
Tanyanya. Sepertinya dia mengkhawatirkan aku.
“Kris Hyung... “ Kataku.
“Ne, wae?”
“Rasanya menyakitkan sekali ya, jika
orang yang kita rindukan berada di dekat kita, tapi kita tak bisa mendekatinya.
Padahal kita sangat merindukannya, sampai ingin berteriak rasanya..” Kataku.
Kris Hyung menarik nafas panjang dan
sedikit tersenyum.
“Apa ini ada hubungannya dengan..
Thiya?” Tanyanya. Tak heran Kris Hyung tahu tentang Thiya karena sering aku
membicarakan banyak hal tentang Thiya pada Kris Hyung.
Aku menunduk, dan menceritakan semua
yang kualami hari ini. Aku menunduk menahan tangis. Aku sudah tak tahan, aku
benar-benar merindukan Thiya. Kris Hyung menepuk pundakku. Aku tak bisa
mengangkat wajahku, otakku seperti enggan untuk memerintahkan syaraf-syarafku
untuk mengangkat kepalaku.
“Kupikir ini sebuah kesempatan bagus
untukmu. Menurutku.” Kata Kris-hyung.
“Apa maksudmu, Hyung?” Tanyaku
heran.
“Apa kau percaya seandainya kau itu
adalah sumber dari semua ingatan Thiya? Maksudku, mungkin saja kau bisa membuat
Thiya mengingat segalanya. Mengingat kehidupan sebelumnya yang hilang baginya.”
Jelas Kris-Hyung.
“Sungguh?” Tanyaku.
“Entah kenapa aku berfikiran seperti
itu...” Jawabnya.
“Tuhan membuat semua kejadian
didunia ini penuh makna, dan seperti kau dipertemukan kembali dengan Thiya
dalam keadaan seperti ini pun, pasti Tuhan memiliki maksud lain. Yang mungkin
ini bisa menjadi awal yang baru bagi kalian..” kata Kris-hyung bijak.
“Aku? Awal yang baru?” tanyaku masih
tak yakin.
Kris hyung tersenyum sambil
mengangguk. Aku pun mulai bisa tersenyum setelah mendengar perkataan Kris-hyung
tadi. Kupikir, benar, Tuhan pasti punya rencana lain.
“Terimakasih, Kris-hyung, aku sudah
mulai tenang sekarang” kataku.
Kris Hyung tersenyum lagi dan
menepuk bahuku sekali lagi.
“Berjuanglah, Kai.” Katanya
menyemangatiku. Kris-Hyung segera berpamitan untuk segera menjemput Hana. Aku
merasa mendapat sedikit keberanian. Thiya, aku akan membuatmu mengingat
segalanya. Mengingat aku, mengingat semua kenangan tentang kita.
Siang ini aku kembali pada
rutinitasku, aku dan kawan-kawanku latihan menari dan mempertontonkannya di
taman. Samar aku lihat Thiya sedang duduk di kursi taman itu lagi, aku tak tahu
dia menyaksikanku atau tidak. Tapi kuharap dia melihatku. Thiya, lihatlah aku,
dan cobalah untuk mengingat semuanya. Aku sangat menikmati ini, dan sekarang
aku hampir mencapai impianku, menjadi dancer terkenal. Thiya, apa kau
melihatnya? Aku sudah hampir mencapai impianku, berkat do’amu. Dan, aku yakin
sebentar lagi kau pun akan mendapatkan impianmu yang pernah kau bicarakan
padaku.
Aku mendengar teriakan orang-orang
di sekeliling setelah kami selesai menampilkan dansa kami, aku senang, kami
begitu diterima seperti ini. Mataku cepat-cepat tertuju pada kursi di tepi
pohon itu, tapi aku tak menemukan Thiya disana. Kemana dia? Mataku berkelana ke
sekeliling taman tapi aku tak juga menemukan sosok Thiya. Ya ampun, apakah aku
terlalu asyik sehingga aku tak menyadari Thiya pergi dari sini.
Aku segera berlari ke sekeliling
taman dan sampai di pintu taman tapi tak juga menemukan sosok yeoja yang
kurindukan itu. Hanya hamparan salju yang menggungung. Aku tak bisa
menemukannya.
Thiya
POV
Siang ini aku merasa membaik setelah
beristirahat semalaman, aku kembali datang ke taman ini dan duduk di tempat
biasanya. Salju sudah tak turun lagi dan salju yang jatuh sudah menggunung sana
sini. Aku suka sekali menyentuhnya dan memainkannya. Aku merasa senang sekali,
seperti kembali ke masa yang entah kapan, aku tidak ingat. Apakah dulu juga aku
senang bermain salju seperti ini?
Perhatianku teralihkan pada suara
musik yang terdengar menggebu. Aku langsung menengok ke arah kiri, kulihat ada
panggung kecil dan sekumpulan anak-anak muda disana. Konser mini? Pikirku. Aku
terhanyut dan asyik menyaksikannya. Aku tertegun pada sosok namja yang menari
lincah diatas panggung itu, dia bersama teman-temannya terlihat asik dan
kompak. Dia menari bersama, tapi dimataku hanya dia yang terlihat sangat..
eerr... sangat keren.. yah, menurutku. Aku senang memperhatikannya. Sejak
kemarin dia menolongku, bukan.. Sejak pertamakali orang ini memandangku waktu
itu, aku sangat penasaran dengannya. Aku merasa sudah mengenalnya lebih jauh.
Apakah dulu aku pernah mengenalnya?
Tiba-tiba kepalaku sakit lagi. Aku
menekannya dengan tanganku mencoba menahannya. Tiba-tiba dikepalaku terlintas
bayangan lagi, seorang anak laki-laki yang menari dengan lincahnya, dan
tersenyum padaku. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.. Tapi aku tetap tidak
bisa mengingatnya. Aku beranjak dari kursi dan bergegas pulang ke rumah, aku
menghindari kejadian kemarin yang membuat ibuku khawatir. Sampai rumah, aku
segera mencari ibuku, masih dengan kepalaku yang sakit bukan main, aku
tiba-tiba terduduk di sofa di rung tengah. Aku melihat sebuah album foto yang
dibiarkan terbuka, kupikir ibuku tadi melihatnya dan lupa menyimpannya kembali.
Aku melihat sesosok anak laki-laki di salah satu foto didalam album itu.
Tiba-tiba saja kepalaku makin sakit tak tertahan. Aku mencoba melawan rasa
sakitnya dengan mencoba mengingat apapun yang bisa kuingat.
“Thiya! Ya Tuhan.. Thiya! Kau kenapa
nak!” ibuku datang dan segera memegang kepalaku.
Aku masih berusaha keras
mengingatnya. Bayangan yang tadi muncul, muncul lagi dan kini lebih jelas.
“Kai Oppa... apa kau punya impian?”
aku mendengar suara itu.
“Thiya...” anak laki-laki yang tadi
memanggil namaku.
“Kai?” aku mengucapkan nama itu.
“Nak? Apa? Kau mengucapkan apa?”
tanya ibuku.
“Kai... Kai Oppa..!!” Aku langsung
mengangkat kepalaku dan melihat ibuku. Rasa sakit kepala yang tadi bukan main
sakitnya kini perlahan hilang.
“Thiya... kau ingat sesuatu nak?”
tanya ibuku dengan senyum dan air mata yang sedikit menyembul dari ujung matanya.
“Ibu! Aku ingat! Aku mengingat
semuanya Bu!!” Aku merasa senang.
“Apa yang kau ingat, sayang?” tanya
ibuku sambil mengusap kepalaku.
“Terakhir..aku.. aku pernah tinggal
di sini kan bu? Dan, aku.. aku kenal dekat dengan Kai Oppa..! iya Kai Oppa..!!
dan setelah itu kita akan pulang dan.. dan aku tak mengingat apa- apa lagi..”
Jelasku terbata-bata karena aku merasa sangat senang. Ingatan selama aku hilang
ingatan, sulit untuk mengingatnya kembali. Aku hanya mengingat saat sebelum aku
hilang ingatan.
“Oh... syukurlah nak... kau sembuh?
Kau sembuh nak..” Ibu memelukku dan tak kuasa menahan tangis bahagianya. Aku
pun memeluk ibu. Tuhan terimakasih kau telah mengembalikan ingatanku.
Aku tiba-tiba tersadar.. Kai...! Kai
Oppa..!! Aku segera beranjak dan berpamitan pada ibu untuk kembali ke taman
tadi. Aku berlari sekencang-kencangnya berharap Kai Oppa masih disana. Aku tahu
alasan kenapa kakiku selalu memaksa membawaku ke tempat ini dan aku tidak
menolaknya. Aku tahu kenapa aku merasa familiar dengan sentuhan tangan kai Oppa
dan tatapan matanya itu. Tuhan, aku sadar sekarang aku sangat merindukannya.
Aku berhenti ketika aku sampai di
taman, mataku mencari ke setiap sudut taman mencari sosok namja yang sangat aku
rindukan. Aku hampir cemas, aku tak juga menemukannya. Aku hampir menangis dan
putus asa. Aku ingin segera menemuinya dan memeluknya. Aku duduk di kursi taman
sejenak melepaskan lelahku dan mengatur nafasku, ketika aku melihat beberapa
orang yang baru saja keluar dari toilet taman. Dari jauh aku memperhatikannya.
Oh Tuhan, aku sudah tak bisa menahan diri ini lagi. Itu dia, namja yang sangat
kurindukan lebih dari siapapun, Kai Oppa..
“KAI OPPA..!!!” aku berteriak
sejadi-jadinya memanggil namja itu.
Aku melihat dia dan teman-teman yang
sedang bersamanya berhenti dan melihat kearahku. Aku berlari kearahnya, tak
sabar ingin meraihnya. Kulihat diapun sepertinya sadar. Aku segera meraih
tubuhnya dan memeluknya seerat mungkin. Aku sudah tak peduli orang-orang
sekitar memperhatikan kami. Dia balas memelukku erat.
“Oppa, aku sangat merindukanmu”
Kataku, aku tak kuasa menahan air mata.
“A..aku juga.. Thiya..” Kai Oppa
berbicara terbata. Aku tahu mungkin dia belum bisa mempercayai ini.
Aku melepaskan pelukanku, tangan Kai
Oppa masih di pinggangku.
“Thiya.. Kau sudah mengingat
semuanya?” Tanyanya dengan wajah yang seperti menunjukan bahwa ia masih belum
percaya hal ini.
Aku mengangguk dan tersenyum, air
mata ini makin tak bisa kutahan. Kai Oppa kembali memelukku erat. Aku pun
rasanya tak ingin lepas darinya lagi.
“Saranghae, Thiya..” bisiknya di
telingaku.
“Nado.. saranghae.. Kai Oppa”
balasku. Aku sangat bahagia.
Kai Oppa kembali melepaskan
pelukannya, tangannya membingkai wajahku, menghapus air mata yang bergulir
dipipiku dengan lembut dan tersenyum padaku, senyuman yang sangat kurindukan.
Kai Oppa menatap aku dengan tatapannya yang tajam itu. Aku memejamkan mataku
sebelum teriakan namja di belakang Kai Oppa mengejutkan kami.
“Heeiii...!! Kalau mau bermesraan
lebih baik dirumah saja! Ini tempat umum wooooyyy..!!” Katanya.
Wajah kami berdua langsung memerah,
Ya Tuhan ini pertama kalinya aku melakukan hal sampai tak mempedulikan
sekitarku. Aku jadi malu.
“Good Job, Kai..!” Kata namja tinggi
di sebelahnya sambil memberikan kedipan matanya.
“Ehem.. Sehun-ah! Kris Oppa! Apa
tidak ada hal lain yang lebih bermanfaat yang bisa kalian lakukan selain
mengganggu mereka hah!” Kata yeoja disebelah mereka.
“Mati kau. Kris Hyung! Hahahaha” Kai
Oppa tertawa, aku pun ikut tertawa, teman-teman Kai Oppa dibelakangnya pun ikut
tertawa. Hari ini aku sangat bahagia, aku dapat mengingat semuanya dan bertemu
kembali dengan namja yang sangat kucintai ini.
“Kai Oppa, aku pun sekarang sudah
mendapatkan impianku...” Kataku.
“Iya, dan aku tak akan melepaskanmu
lagi” kata Kai Oppa sambil mengecup bibirku sekilas. Aku segera menunduk malu,
kurasakan salju mulai turun lagi. Salju kesukaanku.
“Bicara apa kau barusan?
Kaaaaiii..!!” kata namja tinggi bernama Kris itu, dan melempar bola salju
sebesar kepalan tangannya pada Kai Oppa.
Kai Oppa tertawa dan menghindari
lemparan bola salju itu. Semuanya tertawa, semuanya bahagia. Aku tak dapat
menghilangkan rasa syukur ini, aku sangat bersyukur. Genggaman tangan Kai Oppa
tak lepas dan kuharap takkan pernah lepas. Saranghae yeongwonhi, Kai Oppa.
***
BONUS
Author
POV
“Senangnya mereka bertemu kembali,
rasanya seperti hidup baru” ucap Kris sambil menyaksikan teman-temannya saling
melepat bola salju.
“Oppa, kau tak ingin ikutan? Ayo
sini...!!” Sha Na mengajaknya untuk bergabung.
“Ayo Kris hyung! Padahal kau yang
mulai!!” teriak Kai, disusul dengan teriakan teman-temannya yang lain.
Kris mendekati Sha Na dan tiba-tiba
menggenggam tangannya.
“Hmm? Ada apa Oppa?” Tanya Sha Na
yang mengurungkan niatnya yang akan melemparkan bola salju.
“Saranghae” ucapnya.
Sha Na tersenyum dan mengucapkan
“Nado, Oppa”
“Boleh aku menciummu?” tanya Kris.
Sha Na tiba-tiba melemparkan bola salju yang sedari tadi digenggamnya ke wajah
Kris, dan dia tertawa. Kai, Thiya, Sehun dan yang lainnya pun ikut tertawa.
“Kena kau Kris Hyung! Good Job Sha
Na!” teriak Kai.
“Mianhae Oppa...hehehe” ucap Sha Na.
Tiba-tiba Kris mencium bibir Sha Na kilat dan segera berlari untuk menghindari
lemparan bola salju Sha Na yang berikutnya. Kris tersenyum dan membuat Sha Na
tak bisa melakukan apa-apa. Wajahnya memerah.
“Woohhoooww... Kris Hyung
berbahayaa...” kata Sehun yang tak sengaja menyaksikan kejadian tadi.
“Sehun-ah! Kau masih belum cukup
umur untuk melihatnyaa..!!” Kai tiba-tiba mendekat dan menutup mata Sehun
dengan tangannya.
“Bagaimana denganmu sendiri! Apa
yang tadi kau lakukan? Babo!!” balas Sehun sambil melepaskan tangan Kai dan
segera melemparnya dengan bola salju.
Ya, sebuah hubungan yang harmonis
bukan?
-END-
Oke segitu sajah hehe..
tinggalkan jejak dan comment yaah buat perbaikan kedepannya gomawo :D
tinggalkan jejak dan comment yaah buat perbaikan kedepannya gomawo :D
good job hhah
BalasHapusandai beneran ya hiks kai hiks
bikin lg yg bnyk :p
bagus ceritanya . .
BalasHapustapi kamu kan masih di bawah umur masa ceritanya agak dewasa sedikit hahahah
aku udah 18 tahun kaka.. T.T
Hapuslagian ni ff ratingnya kan T..
hehe
makasih udah baca kaka :D
tunggu ya ff aku berikutnya hoho..
oh iya.. itu yang komentar diatas komentar kaka itu maincast cewenya loh :P hehe
dia nyembunyiin identitasnya tuh :P
haha
kenalin yaa :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushahahah ditunggu ff berikutnya ya kaka :P
HapusMangga cek beranda kaka.. ::D
BalasHapusudah ada postingan baruuu :D